‘Be Volunteer; Be Hero Zaman Now’


Berbicara mengenai hero zaman ‘now’, saya langsung teringat dengan kata “relawan”. Menurut saya seorang relawan patut dikatakan sebagai seorang hero masa kini, mengapa tidak? Mereka adalah pemerhati sekaligus pekerja sosial yang secara sukarela membantu dan memberikan pelayanan kepada orang-orang yang membutuhkan di sekitar nya tanpa imbalan apapun. Lalu apa yang sebenarnya mereka cari dengan bekerja sosial tanpa imbalan? Apa yang mereka dapatkan dengan membantu? Seperti layaknya istilah ‘take and give’ yang berarti jika kita memberi lantas kita pasti akan mendapatkan sesuatu, begitu bukan? Hal tersebutlah yang mendorong saya untuk menulis artikel ini, saya ingin berbagi pengalaman yang saya rasakan selama menjadi relawan dan apa yang sebenarnya saya ‘dapatkan’.

Bermula dari akhir tahun 2016 lalu, saya bergabung dengan sebuah yayasan filantropi bagi anak kanker bernama Pita Kuning yang dibina langsung oleh Pandji Pragiwaksono, Steny agustaf dan Indro Warkop. Pada awalnya saya hanya tahu bahwa yayasan ini memberikan pelayanan paliatif kepada anak-anak kanker dari kalangan kurang mampu secara ekonomi dan membantu memenuhi kebutuhan mereka selama pengobatan yang tidak tercakup dalam asuransi. Sejujurnya, yang membuat saya tertarik untuk bergabung adalah ilmu baru mengenai paliatif yang saya dapatkan dari menjadi relawan di pita kuning ini. Namun, seiring berjalannya waktu ternyata yang saya dapatkan bukan hanya ilmu baru, teman baru, keluarga baru, bahkan lebih dari itu saya merasakan sesuatu yang berbeda tiap kali melakukan pendampingan. Sesuatu yang justru membuat saya lebih memaknai hidup saya sendiri.

Saya akan jabarkan dari kali pertama saya dan dua rekan lainnya; Wanda dan Nova mendampingi Anak Pita Kuning (APK) bernama Rama pada bulan Februari lalu. Keluarga Rama begitu baik, menyambut dan menerima kami dengan hangat dan terbuka. Ayah dan Ibu nya pun terlihat begitu tegar, tanpa raut sedih ataupun terluka mereka menjelaskan keadaan anaknya kepada kami. Rama merupakan anak penderita Osteosarcoma, atau lebih dikenal dengan kanker tulang. Ia diketahui mengidap kanker setelah adanya tragedi jatuh berkali-kali ketika bermain basket di sekolah. Orangtuanya yang tidak tahu bahwa Rama mengidap kanker lebih memilih membawanya ke tukang urut terlebih dulu. Namun, ternyata kaki nya yang bengkak bukan nya membaik malah semakin membengkak dan membengkak. Hingga akhirnya dilarikan ke Rumah Sakit Kanker Dharmais dan barulah diketahui bahwa Rama telah mengidap Osteosarcoma dan harus menjalani amputasi kaki sebelah kanan. 
Sayid Ramadan, 12 thn

Bahkan Sang ibu menunjukan video saat kaki Rama mengeluarkan darah yang begitu banyak, saya seakan bisa merasakan betapa sakitnya Rama saat itu. Dada saya tiba-tiba sesak, saya menyadari betapa kurangnya rasa syukur selama ini atas apa yang saya miliki, atas kesehatan dan juga nikmat berjalan yang selama ini saya nikmati sedangkan disini ada seorang anak yang tengah berjuang melawan kanker dan justru harus kehilangan kakinya. Bahkan, di usia nya yang masih 12, adik kita ini harus ikhlas melepas hobby nya bermain basket. Ini adalah hal yang saya dapatkan di menit-menit pertama melakukan pedampingan paliatif, Allah bahkan menyelipkan beberapa pengingat dan alarm melalui Ibu Rama untuk mengingatnya. Menakjubkan bukan?

Setelah banyak berbincang, ibu mengantar kami menemui Rama yang tengah beristirahat di kamar. Namun, Ia menyampaikan kepada kami jika mood Rama sedang kurang stabil, dia berkendala menerima orang-orang baru setelah menjalani operasi amputasi sebulan lalu. “Setiap orang yang datang menjenguk dianggapnya sebagai suster dan dokter, jadi dia tidak suka” begitu tutur ibu Rama kepada kami sebelum masuk kamar. Benar saja, Rama sedang tidur ketika kami datang. Setelah dijelaskan bahwa kami merupakan kakak-kakak pendamping yang akan menemaninya belajar untuk ujian (mengingat saat itu, Rama masih duduk di kelas 6 SD dan akan menghadapi ujian), akhirnya Rama bisa menerima kami dengan baik, bahkan dia mau mengobrol dan bercerita mengenai sekolah, hobby, dan cita-citanya.
Pertama kali pendampingan

Pendampingan berjalan dengan lancar, kami melakukan pendampingan berkala setiap hari sabtu atau minggu. Pada saat itulah, kami mengobrol dengan keluarga Rama, mendengarkan cerita-cerita mereka mengenai keluarga, lingkungan rumah dan adik-adik serta menemani Rama bermain atau belajar. Tujuan dari paliatif ini sendiri memang untuk mengurangi rasa sakit yang di derita pasien dan juga keluarga. Hingga suatu hari, di pendampingan kami yang entah keberapa, Rama bercerita mengenai cita-cita nya.

 “Suatu hari kalo aku sudah besar, aku mau naik kapal pesiar yang gede. Nanti aku mau ajak dokter-dokter aku, suster-suster yang ngurus aku, mama papa nene sama kak sinsin, kak wanda, sama kak nova naik kapal pesiar aku…” tutur Rama dengan semangat.

Saya dan rekan-rekan lainnya hanya tersenyum. Didalam hati saya justru ada rasa syukur, bahwa mungkin kami telah diterima oleh Rama dengan begitu baik, atau justru kami pun telah ada di rentetan orang yang dia sayangi seperti yang kami rasakan padanya. Ini adalah sebuah penghargaan dan kebahagiaan yang tak bisa di ukur dengan materi apapun, hanya dengan mendengarnya saya nyaris menitikan air mata dan menangis berhambur memeluk anak SD didepan saya. Namun, bersyukur saya masih bisa menahan rasa haru saat itu.

Di bulan April, kami melakukan pendampingan di luar. Berdasarkan saran dokter bahwa Rama butuh bergerak karena telah berbulan-bulan menghabiskan waktu dengan tidur di kamar. Setelah melalui negosiasi terlebih dahulu dengan orangtua juga dokter. Mereka menyarankan kami untuk berenang, karena olahraga favorit Rama selain basket adalah berenang. Jadilah, kami semua berenang dengan memboyong ayah, ibu, adik-adik, dan sepupu Rama ke kolam di dekat rumah yang terjamin kebersihan dan keamanan nya. Di moment itu saya melihat sosok-sosok tangguh itu tertawa lepas, seperti hal nya magnet saya pun bisa merasakan kebahagiaan tersebut.
Ayah dan Rama setelah renang

Tanpa saya sadari selama ini, bahwa dibalik anak yang tegar pasti ada orangtua yang lebih tangguh lagi. Dibalik kondisi Rama, ayah merupakan sosok hero yang terus ada disampingnya dan memberikan semangat. Satu pesan ayah Rama yang sampai hari ini selalu saya ingat dan menjadi alarm ketika merasa lelah karena pekerjaan atau masalah apapun;  
“memiliki keterbatasan bukan berarti kita harus menyerah pada hidup”.  

Begitupun, ketika masa try-out pra ujian, Rama memaksa ingin mengerjakan soal ujian di sekolah lalu sang ayah mengantar dan menggendongnya ke sekolah. Meskipun saat datang ia langsung di kerubuti oleh teman-teman. Tidak ada sedikitpun rasa malu dirasakan oleh Rama karena berbeda dengan mereka.  Sebaliknya, dia malah senang karena rasa rindu melihat wajah teman-teman main nya telah terobati. Namun, semenjak ujian tersebut kondisi Rama kembali drop. Jantungnya melemah bahkan karena hal tersebut dokter tidak bisa memberikan kemoterapi. Beberapa minggu kemudian, Ia terkena batuk yang parah dan sangat mengganggu. Meskipun, Rama jarang mengeluh namun kami tahu itu menyakitkan dengan kondisinya yang semakin melemah.
Kondisi Rama terakhir pendampingan

Pada minggu pertama di bulan Mei, Rama mulai di rawat intensif kembali di Dharmais dikarenakan infeksi paru-paru. Terdapat cairan disana yang diakibatkan dari kekurangan gerak, beberapa minggu kemudian dokter pun mendiagnosis kanker telah menyebar ke lambung. Dari hasil rontgen terakhir ditemukan beberapa benjolan disana.

Saya masih sangat ingat pada pendampingan terakhir di Dharmais. Rama tertidur dengan lemah, tak sesuap nasipun bisa masuk ke perutnya meskipun kami membujuk dia. Rama yang selalu semangat bercerita, kali ini tak sepatah katapun sanggup dia keluarkan. Hari itu, saya hanya terduduk menemani Ibu di lantai berkarpet yang digunakan nya tidur 3 minggu terakhir. Disaat itu, sang Ibu bercerita panjang mengenai anaknya yang tegar dan ceria. Rama yang tak pernah mengeluh, bahkan di minggu pertama Ia di rawat intensif disini pun, setiap pagi Ia selalu berteriak memberi semangat pada anak kanker dan keluarga lain di ruangan tersebut, “Semangaaat, semangaaat, ayo dong senyum..” Sang ibu mulai terisak menangis disamping saya dan bergumam pelan, 

“saya ikhlas kak, kalo Rama pergi sekarang. Dokter bilang sudah tidak ada yang bisa dilakukan untuknya, sore ini kami mau bawa Rama pulang. Karena beberapa hari lalu, dia udah bilang mau mandi di rumah, soalnya udah 3 minggu belum mandi kak…”

Saya tidak bisa berkata apapun, hanya bisa mengelus tangan Ibu untuk menguatkan. Dia pun mengajak saya untuk pulang bersama ke rumah. Namun, sayangnya ada hal lain yang harus saya kerjakan jadi saya pulang dan juga karena jam besuk berakhir di jam 12, saya telah dua kali dijemput oleh satpam di bangsal tersebut untuk segera pulang. Keesokan harinya pada pukul 6 pagi, saya mendapatkan pesan bahwa Adik kami, Sayid Ramadhan telah meninggal dunia. Seketika ada rasa ngilu saat itu, di hari yang sama sepulang kerja saya langsung ke rumah duka. Masih sama seperti di kali pertama saya datang, mereka menyambut saya dan bercerita bagaimana proses Rama meninggalkan kami semua dengan wajah tegar tanpa gurat kesedihan. 
Selamat jalan Rama

Saya sangat bersyukur di tahun ini, dipertemukan dengan sesosok anak hebat dan tegar seperti Rama. Mungkin saya dan dua rekan lainnya memang berperan sebagai pendamping Rama. Namun, dibalik itu Rama dan keluarga juga merupakan guru untuk kehidupan saya. Dia mengajarkan untuk bersyukur, untuk selalu menghargai segala usaha yang dilakukan, dia juga mengingatkan untuk tidak mengeluh dalam menjalani kehidupan. Terimakasih Rama, semoga Allah memberikanmu ketenangan dan tempat terbaik disana. 

Inilah yang saya dapatkan selama menjadi pendamping anak kanker. Bagaimana dengan pengalaman kalian? Dare to be volunteer? Karena segudang pengalaman seperti bertemu dengan orang baru, keluarga baru, teman baru serta lebih dari itu, menemukan perspektif baru mengenai sisi lain kehidupan adalah hal yang patut dicoba! Mari sebar kebaikan dengan menjadi relawan.

donasi, Dompet Dhuafa, Pahlawan, Hero Zaman Now


Comments

Popular Posts