‘Be Volunteer; Be Hero Zaman Now’
Bermula dari akhir tahun 2016
lalu, saya bergabung dengan sebuah yayasan filantropi bagi anak kanker bernama
Pita Kuning yang dibina langsung oleh Pandji Pragiwaksono, Steny agustaf dan
Indro Warkop. Pada awalnya saya hanya tahu bahwa yayasan ini memberikan
pelayanan paliatif kepada anak-anak kanker dari kalangan kurang mampu secara ekonomi
dan membantu memenuhi kebutuhan mereka selama pengobatan yang tidak tercakup
dalam asuransi. Sejujurnya, yang membuat saya tertarik untuk bergabung adalah
ilmu baru mengenai paliatif yang saya dapatkan dari menjadi relawan di pita
kuning ini. Namun, seiring berjalannya waktu ternyata yang saya dapatkan bukan
hanya ilmu baru, teman baru, keluarga baru, bahkan lebih dari itu saya
merasakan sesuatu yang berbeda tiap kali melakukan
pendampingan. Sesuatu yang justru membuat saya lebih memaknai hidup saya
sendiri.
Saya akan jabarkan dari
kali pertama saya dan dua rekan lainnya; Wanda dan Nova mendampingi Anak Pita
Kuning (APK) bernama Rama pada bulan Februari lalu. Keluarga Rama begitu baik, menyambut
dan menerima kami dengan hangat dan terbuka. Ayah dan Ibu nya pun terlihat
begitu tegar, tanpa raut sedih ataupun terluka mereka menjelaskan keadaan
anaknya kepada kami. Rama merupakan anak penderita Osteosarcoma, atau
lebih dikenal dengan kanker tulang. Ia diketahui mengidap kanker setelah
adanya tragedi jatuh berkali-kali ketika bermain basket di sekolah.
Orangtuanya yang tidak tahu bahwa Rama mengidap kanker lebih memilih membawanya
ke tukang urut terlebih dulu. Namun, ternyata kaki nya yang bengkak bukan nya
membaik malah semakin membengkak dan membengkak. Hingga akhirnya dilarikan ke Rumah
Sakit Kanker Dharmais dan barulah diketahui bahwa Rama telah mengidap Osteosarcoma
dan harus menjalani amputasi kaki sebelah kanan.
Sayid Ramadan, 12 thn |
Bahkan Sang ibu menunjukan video saat
kaki Rama mengeluarkan darah yang begitu banyak, saya seakan bisa merasakan
betapa sakitnya Rama saat itu. Dada saya tiba-tiba sesak, saya menyadari
betapa kurangnya rasa syukur selama ini atas apa yang saya miliki, atas
kesehatan dan juga nikmat berjalan yang selama ini saya nikmati sedangkan disini ada seorang anak yang tengah berjuang melawan kanker
dan justru harus kehilangan kakinya. Bahkan, di usia nya yang masih 12, adik
kita ini harus ikhlas melepas hobby nya bermain basket. Ini adalah hal yang saya dapatkan di menit-menit pertama melakukan pedampingan paliatif,
Allah bahkan menyelipkan beberapa pengingat dan alarm melalui Ibu Rama untuk mengingatnya. Menakjubkan bukan?
Setelah banyak berbincang, ibu
mengantar kami menemui Rama yang tengah beristirahat di kamar. Namun, Ia
menyampaikan kepada kami jika mood Rama sedang kurang stabil, dia berkendala
menerima orang-orang baru setelah menjalani operasi amputasi sebulan
lalu. “Setiap orang yang datang menjenguk dianggapnya sebagai suster dan
dokter, jadi dia tidak suka” begitu tutur ibu Rama kepada kami sebelum
masuk kamar. Benar saja, Rama sedang tidur ketika kami datang. Setelah dijelaskan bahwa kami merupakan kakak-kakak pendamping yang akan
menemaninya belajar untuk ujian (mengingat saat itu, Rama masih duduk di kelas
6 SD dan akan menghadapi ujian), akhirnya Rama bisa menerima kami
dengan baik, bahkan dia mau mengobrol dan bercerita mengenai sekolah, hobby,
dan cita-citanya.
Pertama kali pendampingan |
Pendampingan berjalan dengan
lancar, kami melakukan pendampingan berkala setiap hari sabtu atau
minggu. Pada saat itulah, kami mengobrol dengan keluarga Rama, mendengarkan cerita-cerita
mereka mengenai keluarga, lingkungan rumah dan adik-adik serta menemani
Rama bermain atau belajar. Tujuan dari paliatif ini sendiri memang untuk
mengurangi rasa sakit yang di derita pasien dan juga keluarga. Hingga suatu hari, di pendampingan
kami yang entah keberapa, Rama bercerita mengenai cita-cita nya.
“Suatu hari kalo aku sudah besar, aku mau naik
kapal pesiar yang gede. Nanti aku mau ajak dokter-dokter aku, suster-suster
yang ngurus aku, mama papa nene sama kak sinsin, kak wanda, sama kak nova naik
kapal pesiar aku…” tutur Rama dengan semangat.
Saya dan rekan-rekan lainnya
hanya tersenyum. Didalam hati saya justru ada rasa syukur, bahwa mungkin kami
telah diterima oleh Rama dengan begitu baik, atau justru kami pun telah ada di
rentetan orang yang dia sayangi seperti yang kami rasakan padanya. Ini adalah sebuah
penghargaan dan kebahagiaan yang tak bisa di ukur dengan materi apapun, hanya
dengan mendengarnya saya nyaris menitikan air mata dan menangis berhambur
memeluk anak SD didepan saya. Namun, bersyukur saya masih bisa menahan rasa
haru saat itu.
Di bulan April, kami melakukan
pendampingan di luar. Berdasarkan saran dokter bahwa Rama butuh bergerak karena
telah berbulan-bulan menghabiskan waktu dengan tidur di kamar. Setelah melalui negosiasi terlebih dahulu dengan orangtua juga dokter. Mereka
menyarankan kami untuk berenang, karena olahraga favorit Rama selain basket adalah
berenang. Jadilah, kami semua berenang dengan memboyong ayah, ibu, adik-adik, dan
sepupu Rama ke kolam di dekat rumah yang terjamin kebersihan dan keamanan nya. Di moment itu
saya melihat sosok-sosok tangguh itu tertawa lepas, seperti hal nya magnet saya pun bisa merasakan kebahagiaan tersebut.
Ayah dan Rama setelah renang |
Tanpa saya sadari selama ini,
bahwa dibalik anak yang tegar pasti ada orangtua yang lebih tangguh lagi. Dibalik
kondisi Rama, ayah merupakan sosok hero yang terus ada
disampingnya dan memberikan semangat. Satu pesan ayah Rama yang sampai hari ini
selalu saya ingat dan menjadi alarm ketika merasa lelah karena
pekerjaan atau masalah apapun;
“memiliki keterbatasan bukan berarti kita
harus menyerah pada hidup”.
Begitupun, ketika masa try-out
pra ujian, Rama memaksa ingin mengerjakan soal ujian di sekolah lalu sang
ayah mengantar dan menggendongnya ke sekolah. Meskipun saat datang ia
langsung di kerubuti oleh teman-teman. Tidak ada sedikitpun rasa malu dirasakan oleh Rama
karena berbeda dengan mereka. Sebaliknya, dia malah senang karena rasa
rindu melihat wajah teman-teman main nya telah terobati. Namun, semenjak ujian tersebut kondisi Rama
kembali drop. Jantungnya melemah bahkan karena hal tersebut dokter tidak bisa memberikan
kemoterapi. Beberapa minggu kemudian, Ia terkena batuk yang parah dan
sangat mengganggu. Meskipun, Rama jarang mengeluh namun kami tahu itu
menyakitkan dengan kondisinya yang semakin melemah.
Kondisi Rama terakhir pendampingan |
Pada minggu pertama di bulan
Mei, Rama mulai di rawat intensif kembali di Dharmais dikarenakan infeksi
paru-paru. Terdapat cairan disana yang diakibatkan dari kekurangan
gerak, beberapa minggu kemudian dokter pun mendiagnosis kanker telah
menyebar ke lambung. Dari hasil rontgen terakhir ditemukan beberapa benjolan
disana.
Saya masih sangat ingat pada pendampingan terakhir di Dharmais. Rama tertidur dengan lemah, tak sesuap nasipun bisa masuk ke perutnya meskipun kami membujuk dia. Rama yang selalu semangat bercerita, kali ini tak sepatah katapun sanggup dia keluarkan. Hari itu, saya hanya terduduk menemani Ibu di lantai berkarpet yang digunakan nya tidur 3 minggu terakhir. Disaat itu, sang Ibu bercerita panjang mengenai anaknya yang tegar dan ceria. Rama yang tak pernah mengeluh, bahkan di minggu pertama Ia di rawat intensif disini pun, setiap pagi Ia selalu berteriak memberi semangat pada anak kanker dan keluarga lain di ruangan tersebut, “Semangaaat, semangaaat, ayo dong senyum..” Sang ibu mulai terisak menangis disamping saya dan bergumam pelan,
Saya masih sangat ingat pada pendampingan terakhir di Dharmais. Rama tertidur dengan lemah, tak sesuap nasipun bisa masuk ke perutnya meskipun kami membujuk dia. Rama yang selalu semangat bercerita, kali ini tak sepatah katapun sanggup dia keluarkan. Hari itu, saya hanya terduduk menemani Ibu di lantai berkarpet yang digunakan nya tidur 3 minggu terakhir. Disaat itu, sang Ibu bercerita panjang mengenai anaknya yang tegar dan ceria. Rama yang tak pernah mengeluh, bahkan di minggu pertama Ia di rawat intensif disini pun, setiap pagi Ia selalu berteriak memberi semangat pada anak kanker dan keluarga lain di ruangan tersebut, “Semangaaat, semangaaat, ayo dong senyum..” Sang ibu mulai terisak menangis disamping saya dan bergumam pelan,
“saya ikhlas kak, kalo Rama
pergi sekarang. Dokter bilang sudah tidak ada yang bisa dilakukan untuknya,
sore ini kami mau bawa Rama pulang. Karena beberapa hari lalu, dia udah bilang
mau mandi di rumah, soalnya udah 3 minggu belum mandi kak…”
Saya tidak bisa berkata apapun,
hanya bisa mengelus tangan Ibu untuk menguatkan. Dia pun mengajak saya untuk
pulang bersama ke rumah. Namun, sayangnya ada hal lain yang harus saya kerjakan
jadi saya pulang dan juga karena jam besuk berakhir di jam 12, saya telah dua kali dijemput oleh satpam di bangsal tersebut untuk segera pulang.
Keesokan harinya pada pukul 6 pagi, saya mendapatkan pesan bahwa Adik kami, Sayid
Ramadhan telah meninggal dunia. Seketika ada rasa ngilu saat itu, di hari yang sama
sepulang kerja saya langsung ke rumah duka. Masih sama seperti di kali pertama
saya datang, mereka menyambut saya dan bercerita bagaimana proses Rama meninggalkan kami semua dengan wajah tegar tanpa gurat
kesedihan.
Selamat jalan Rama |
Saya sangat bersyukur di tahun
ini, dipertemukan dengan sesosok anak hebat dan tegar seperti Rama. Mungkin
saya dan dua rekan lainnya memang berperan sebagai pendamping Rama. Namun,
dibalik itu Rama dan keluarga juga merupakan guru untuk kehidupan saya. Dia mengajarkan untuk bersyukur, untuk selalu menghargai segala usaha yang dilakukan, dia juga mengingatkan untuk tidak mengeluh dalam menjalani kehidupan. Terimakasih Rama, semoga
Allah memberikanmu ketenangan dan tempat terbaik disana.
Inilah yang saya dapatkan selama
menjadi pendamping anak kanker. Bagaimana dengan pengalaman kalian? Dare to be volunteer? Karena
segudang pengalaman seperti bertemu dengan orang baru, keluarga baru, teman baru serta lebih
dari itu, menemukan perspektif baru mengenai sisi lain kehidupan adalah hal
yang patut dicoba! Mari sebar kebaikan dengan menjadi relawan.
donasi, Dompet Dhuafa, Pahlawan, Hero Zaman Now
donasi, Dompet Dhuafa, Pahlawan, Hero Zaman Now
Comments
Post a Comment